Oleh Luh De Suriyani
Komang Supadmi, perempuan 24 tahun ini berubah namanya menjadi Nyoman Supadmi pada hari kelahirannya, 14 Mei lalu. Saat itu adalah malam Tumpek Wayang. Suatu malam jelang hari raya umat Hindu memuja Dewa Pasupati, manifestasi Tuhan sebagai penguasa mahluk hidup.
Tak hanya nama, wataknya dan jiwanya juga diruwat. Pikiran dan perilakunya dipertajam untuk lebih baik. Prosesi wayang yang disebut Nyapu Leger ini berlangsung pada malam hari. Katika manusia yang lahir saat atau menjelang Tumpek Wayang dianggap membawa mala atau penderitaan sejak lahir.
Tradisi ini diilhami oleh cerita dewa-dewi yang diyakini umat Hindu di Bali. Dalam cerita disebutkan siapapun yang lahir pada jelang atau saat Wuku Wayang (istilah dalam penanggalan Bali, biasanya jatuh pertengahan Mei) akan dimakan oleh Sang Kala, manifestasi Siwa. Tragisnya, adik Dewa Siwa yakni Sang Kumara lahir pada Wuku Wayang.
I Gusti Lanang Oka, 60 tahun, seniman dalang dan pemimpin agama menceritakan karena tak ingin dimakan Sang Kala, Dewa Kumara lari. Suatu malam ia jatuh di kaki seorang dalang wayang kemudian minta perlindungan. Oleh dalang itu, disuguhkanlah sesajen atau yadnya untuk Sang Kala hingga hilanglah kemarahannya pada Kumara. Karena itu manusia yang lahir pada Wuku Wayang biasanya diruwat oleh dalang wayang untuk menghilangkan kelamarahan yang dibawa Sang Kala ketika lahir. Upacara itu disebut Nyapu Leger.
Nyapu Leger juga berasal dari Bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang berarti menghilangkan lingkaran kelahiran. Nyapu artinya membersihkan, dan leger artinya lingkaran kelahiran.
Berdasarkan kitab suci Siwa Tattwa dinyatakan bahwa mereka yang lahir pada Wuku Wayang mempunyai peluang untuk keluar dari “samsara” yaitu kelahiran yang berulang-ulang. Untuk itu maka ia harus bersujud kehadapan Siwa menerima anugrah itu, melalui manifestasi-Nya, Bhatara Kala.
Upacara Nyapu Leger ini dilaksanakan dengan menyediakan aneka sesajen yang jumlahnya sangat banyak. Inilah yang membuat mertua Nyoman Supadmi bingung. Ia mengaku tak mampu membuat sesajen atau banten itu sendiri karena sangat ruwet. Dikeluarganya juga tak ada yang bisa membuat, karena upacara ini sangat khusus, tidak dilakukan oleh tiap orang Bali.
Seperti biasa, banten seperti ini harus dibeli di penjual banten berpengalaman. Ariani membelinya dengan harga Rp 5,5 juta termasuk banten dan pertunjukkan wayang kulit yang menjadi gong dari acara ini. Ariani yang pedagang nasi di Pasar Badung, pasar tradisional di Bali ini meminjam uang di koperasi untuk memenuhi semua kebutuhan upacara Manusia Yadnya (upacara untuk manusia) ini.
Ia berusaha terus menawar harga dari pedagang banten. Namun harga kebutuhan pokok, yang menjadi bahan utama banten di Bali seperti telor dan beras saat ini harganya meningkat drastis. Salah satunya karena polemik harga bahan bakar minyak dan inflasi tinggi di Indonesia.
Jadilah Ariani harus menerima harga yang tak bisa ditawar itu. Pada pagi hari, gunungan banten telah sampai di rumahnya. Banten ini sampai diangkut oleh tiga mobil pick-up. Banten-banten itu lalu disusun sesuai dengan urutan dan syaratnya. Oya, Ariani harus menambah babi guling untuk melengkapi bantennya. Untuk ini, ia harus mengeluarkan ongkos tambahan. Belum lagi makanan dan minuman untuk tamu-tamu, keluarga, kelompok seniman wayang, dan pemimpin upacara nanti.
Hal ini lumrah dilakukan oleh penyelenggara upacara di Bali. Konsep upacara di Bali yang dilakukan secara gotong royong, membuat kebutuhan logistik juga harus memadai. Apalagi jika tuan rumah membuat banten sendiri, niscaya acara jamuan ini bisa dilakukan selama 3 hari sampai seminggu, tergantung jenis upacaranya. Pada saat itu, tuan rumah benar-benar sibuk, bahkan harus libur bekerja.
Komang Supadmi, perempuan berputra satu yang akan diruwat ini mengaku heran soal pelaksanaan upacara ini apalagi biaya yang dikeluarkan besar dan membuat keluarganya sibuk. “Padahal aku merasa baik-baik saja. Kalau sering melawan kan karena marah saja,” katanya tentang perilakunya yang dianggap suka melawan itu.
Oleh suami dan mertuanya, Komang dianggap selama ini punya perangai yang suka melawan, egois, tidak bersahabat, dan suka marah. Nyaris tiap hari ia bertengkar dengan suaminya. “Saya takut kalau terus-terusan perilakunya begitu, akan terjadi musibah dalam keluarga,” kata Nengah Ariani, mertuanya.
Perempuan Bali yang menikah dengan pria Bali secara otomatis menjadi bagian keluarga laki-laki, baik fisik, tanggung jawab, dan keyakinannya. Pada beberapa kasus, ada pria yang masuk ke keluarga si perempuan, itu karena keluarga perempuan tidak mempunyai anak laki-laki. Hal ini tergantung personal dan negoisasi. Demikian tradisi keluarga Bali yang patriarkhi dalam hal perkawinan.
Demikian pula Komang Supadmi. Sang mertua merasa agak kecewa karena harus membuat upacara Nyapu Leger untuk menantunya kelak karena belum diupacarai oleh orang tua kandungnya ketika remaja. “Ini upacara besar, biayanya juga besar. Namun harus dilakukan,” kata Ariani.
Maka hari telah malam, kesibukan di rumah Ariani memuncak. Semua banten telah siap digunakan. Para seniman wayang juga bersiap membuat panggung untuk pertunjukkan wayang dengan judul Nyapu Leger, tokoh utamanya Dewa Siwa dan Sang Acintia.
Tumpukan belasan wayang kulit disiapkan. Batang pohon pisang sebagai penyangga. Kain putih yang dibentangkan akan menampilkan bayangan wayang dibantu kelir, cahaya dari tungku api yang digantung.
Sebelum diruwat wayang, Komang melakukan penyucian diri pada leluhurnya di tempat sembahyang keluarga (sanggah atau merajan). Jero Mangku Lanang Oka, pemimpin upacara ini yang juga akan tampil sebagai dalang wayang memanjatkan doa-doa berisi permohonan ijin melaksanakan upacara dan mohon keselamatan.
Setelah itu Komang dimandikan tirtha, air yang disucikan dengan doa dan bunga harum. Orang tua dan mertuanya memandikan Komang sambil berurai air mata. Suasana jadi mecekam, apalagi dilakukan malam hari. “Ayo Komang, sekarang berbenah diri jadi lebih baik ya. Semoga semua penderitaan berlalu, kita mulai hidup lebih baik,” ajak Ariani, mertuanya sambil menangis. Komang pun ikut menangis.
Prosesi ini memberi simbol penyucian diri dan melepas kemalangan yang ada sejak lahir. Karena itulah, sang pemimpin upacara memberikan nama baru untuk Komang, yakni Nyoman. Nama belakangnya tetap sama, Supadmi.
Saniscara Kliwon Wuku Landep adalah jatuhnya Tumpek Landep. Memuja Dewa Pasupati yang memberikan anugerah berupa senjata kehidupan, yakni pikiran. Karena itu, secara sederhana umat Hindu saat Tumpek Landep membuat sesajen untuk berbagai alat-alat dari besi yang biasanya dianggap penting atau sarana kerja dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya mobil, motor, komputer, cangkul bagi petani, dan lainnya.
Kecenderungannya, semakin mahal alat kerja, seperti mobil, maka sesajennya lebih besar. Kebiasaan ini makin mengaburkan makna penajaman pikiran saat Tumpek Wayang ini. Hal ini diakui Jero Mangku Lanang Oka, pemimpin upacara yang kerap diminta memfasilitasi persembahan umat saat Tumpek Landep. ”Tantangan umat Hindu makin besar, karena filosofi dan pengamalan agama makin kering. Tergantikan dengan teknis upacara yang bikin ruwet,” ujarnya dingin.
Komang Supadmi, perempuan 24 tahun ini berubah namanya menjadi Nyoman Supadmi pada hari kelahirannya, 14 Mei lalu. Saat itu adalah malam Tumpek Wayang. Suatu malam jelang hari raya umat Hindu memuja Dewa Pasupati, manifestasi Tuhan sebagai penguasa mahluk hidup.
Tak hanya nama, wataknya dan jiwanya juga diruwat. Pikiran dan perilakunya dipertajam untuk lebih baik. Prosesi wayang yang disebut Nyapu Leger ini berlangsung pada malam hari. Katika manusia yang lahir saat atau menjelang Tumpek Wayang dianggap membawa mala atau penderitaan sejak lahir.
Tradisi ini diilhami oleh cerita dewa-dewi yang diyakini umat Hindu di Bali. Dalam cerita disebutkan siapapun yang lahir pada jelang atau saat Wuku Wayang (istilah dalam penanggalan Bali, biasanya jatuh pertengahan Mei) akan dimakan oleh Sang Kala, manifestasi Siwa. Tragisnya, adik Dewa Siwa yakni Sang Kumara lahir pada Wuku Wayang.
I Gusti Lanang Oka, 60 tahun, seniman dalang dan pemimpin agama menceritakan karena tak ingin dimakan Sang Kala, Dewa Kumara lari. Suatu malam ia jatuh di kaki seorang dalang wayang kemudian minta perlindungan. Oleh dalang itu, disuguhkanlah sesajen atau yadnya untuk Sang Kala hingga hilanglah kemarahannya pada Kumara. Karena itu manusia yang lahir pada Wuku Wayang biasanya diruwat oleh dalang wayang untuk menghilangkan kelamarahan yang dibawa Sang Kala ketika lahir. Upacara itu disebut Nyapu Leger.
Nyapu Leger juga berasal dari Bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang berarti menghilangkan lingkaran kelahiran. Nyapu artinya membersihkan, dan leger artinya lingkaran kelahiran.
Berdasarkan kitab suci Siwa Tattwa dinyatakan bahwa mereka yang lahir pada Wuku Wayang mempunyai peluang untuk keluar dari “samsara” yaitu kelahiran yang berulang-ulang. Untuk itu maka ia harus bersujud kehadapan Siwa menerima anugrah itu, melalui manifestasi-Nya, Bhatara Kala.
Upacara Nyapu Leger ini dilaksanakan dengan menyediakan aneka sesajen yang jumlahnya sangat banyak. Inilah yang membuat mertua Nyoman Supadmi bingung. Ia mengaku tak mampu membuat sesajen atau banten itu sendiri karena sangat ruwet. Dikeluarganya juga tak ada yang bisa membuat, karena upacara ini sangat khusus, tidak dilakukan oleh tiap orang Bali.
Seperti biasa, banten seperti ini harus dibeli di penjual banten berpengalaman. Ariani membelinya dengan harga Rp 5,5 juta termasuk banten dan pertunjukkan wayang kulit yang menjadi gong dari acara ini. Ariani yang pedagang nasi di Pasar Badung, pasar tradisional di Bali ini meminjam uang di koperasi untuk memenuhi semua kebutuhan upacara Manusia Yadnya (upacara untuk manusia) ini.
Ia berusaha terus menawar harga dari pedagang banten. Namun harga kebutuhan pokok, yang menjadi bahan utama banten di Bali seperti telor dan beras saat ini harganya meningkat drastis. Salah satunya karena polemik harga bahan bakar minyak dan inflasi tinggi di Indonesia.
Jadilah Ariani harus menerima harga yang tak bisa ditawar itu. Pada pagi hari, gunungan banten telah sampai di rumahnya. Banten ini sampai diangkut oleh tiga mobil pick-up. Banten-banten itu lalu disusun sesuai dengan urutan dan syaratnya. Oya, Ariani harus menambah babi guling untuk melengkapi bantennya. Untuk ini, ia harus mengeluarkan ongkos tambahan. Belum lagi makanan dan minuman untuk tamu-tamu, keluarga, kelompok seniman wayang, dan pemimpin upacara nanti.
Hal ini lumrah dilakukan oleh penyelenggara upacara di Bali. Konsep upacara di Bali yang dilakukan secara gotong royong, membuat kebutuhan logistik juga harus memadai. Apalagi jika tuan rumah membuat banten sendiri, niscaya acara jamuan ini bisa dilakukan selama 3 hari sampai seminggu, tergantung jenis upacaranya. Pada saat itu, tuan rumah benar-benar sibuk, bahkan harus libur bekerja.
Komang Supadmi, perempuan berputra satu yang akan diruwat ini mengaku heran soal pelaksanaan upacara ini apalagi biaya yang dikeluarkan besar dan membuat keluarganya sibuk. “Padahal aku merasa baik-baik saja. Kalau sering melawan kan karena marah saja,” katanya tentang perilakunya yang dianggap suka melawan itu.
Oleh suami dan mertuanya, Komang dianggap selama ini punya perangai yang suka melawan, egois, tidak bersahabat, dan suka marah. Nyaris tiap hari ia bertengkar dengan suaminya. “Saya takut kalau terus-terusan perilakunya begitu, akan terjadi musibah dalam keluarga,” kata Nengah Ariani, mertuanya.
Perempuan Bali yang menikah dengan pria Bali secara otomatis menjadi bagian keluarga laki-laki, baik fisik, tanggung jawab, dan keyakinannya. Pada beberapa kasus, ada pria yang masuk ke keluarga si perempuan, itu karena keluarga perempuan tidak mempunyai anak laki-laki. Hal ini tergantung personal dan negoisasi. Demikian tradisi keluarga Bali yang patriarkhi dalam hal perkawinan.
Demikian pula Komang Supadmi. Sang mertua merasa agak kecewa karena harus membuat upacara Nyapu Leger untuk menantunya kelak karena belum diupacarai oleh orang tua kandungnya ketika remaja. “Ini upacara besar, biayanya juga besar. Namun harus dilakukan,” kata Ariani.
Maka hari telah malam, kesibukan di rumah Ariani memuncak. Semua banten telah siap digunakan. Para seniman wayang juga bersiap membuat panggung untuk pertunjukkan wayang dengan judul Nyapu Leger, tokoh utamanya Dewa Siwa dan Sang Acintia.
Tumpukan belasan wayang kulit disiapkan. Batang pohon pisang sebagai penyangga. Kain putih yang dibentangkan akan menampilkan bayangan wayang dibantu kelir, cahaya dari tungku api yang digantung.
Sebelum diruwat wayang, Komang melakukan penyucian diri pada leluhurnya di tempat sembahyang keluarga (sanggah atau merajan). Jero Mangku Lanang Oka, pemimpin upacara ini yang juga akan tampil sebagai dalang wayang memanjatkan doa-doa berisi permohonan ijin melaksanakan upacara dan mohon keselamatan.
Setelah itu Komang dimandikan tirtha, air yang disucikan dengan doa dan bunga harum. Orang tua dan mertuanya memandikan Komang sambil berurai air mata. Suasana jadi mecekam, apalagi dilakukan malam hari. “Ayo Komang, sekarang berbenah diri jadi lebih baik ya. Semoga semua penderitaan berlalu, kita mulai hidup lebih baik,” ajak Ariani, mertuanya sambil menangis. Komang pun ikut menangis.
Prosesi ini memberi simbol penyucian diri dan melepas kemalangan yang ada sejak lahir. Karena itulah, sang pemimpin upacara memberikan nama baru untuk Komang, yakni Nyoman. Nama belakangnya tetap sama, Supadmi.
Saniscara Kliwon Wuku Landep adalah jatuhnya Tumpek Landep. Memuja Dewa Pasupati yang memberikan anugerah berupa senjata kehidupan, yakni pikiran. Karena itu, secara sederhana umat Hindu saat Tumpek Landep membuat sesajen untuk berbagai alat-alat dari besi yang biasanya dianggap penting atau sarana kerja dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya mobil, motor, komputer, cangkul bagi petani, dan lainnya.
Kecenderungannya, semakin mahal alat kerja, seperti mobil, maka sesajennya lebih besar. Kebiasaan ini makin mengaburkan makna penajaman pikiran saat Tumpek Wayang ini. Hal ini diakui Jero Mangku Lanang Oka, pemimpin upacara yang kerap diminta memfasilitasi persembahan umat saat Tumpek Landep. ”Tantangan umat Hindu makin besar, karena filosofi dan pengamalan agama makin kering. Tergantikan dengan teknis upacara yang bikin ruwet,” ujarnya dingin.
Sumber : balebengong.net
No comments:
Post a Comment